Diceritakan ada suatu keluarga sedang menonton salah satu seri dari film Star Trek. Setelah lama mengamati si anak lalu bertanya:
“Ayah, mengapa di film ini tidak diceritakan kehidupan beragama, seperti adanya adegan doa atau yang lainnya?”
Ayahnya menjawab:
“Karena film ini terjadi di masa depan”
Star Trek memang hanya sebuah film berlatar fiksi ilmiah. Penggarapannya yang apik membuat film ini banyak disukai orang. Bahkan kini ada istilah fisika Star Trek atau juga bahasa Klingon yang diambil atau diinspirasi dari film Star Trek.
Pencetus Star Trek sendiri, Gene Roddenberry, adalah seorang ateis, sehingga seperti dituliskan oleh Bernd Schneider bahwa “Star Trek’s takes on religious topics are often critical, and they almost routinely close with a victory of science over faith”. Pantaslah bila agama dipandang secara kritis dalam film ini dan sains dianggap sebagai fanglima mengungguli iman.
Saya bukan ahli ramal dan belum pernah nganjang ka pageto (bertamu ke masa depan). Kita hanya bisa membuat prediksi berdasarkan kondisi-kondisi kekinian yang bisa jadi prediksi tersebut benar atau juga salah.
Membayangkan kehidupan beragama yang kandas di masa depan seperti dalam film Star Trek adalah sah-sah saja. Bukan pula suatu bentuk kecemasan. Bisa jadi akan membuka peluang menghadirkan pemahaman agama dalam perspektif modern, sambil mengingat pengaruh opini yang sekarang datang dari segenap penjuru.
Para pemikir dunia sudah lama mengkaji masalah ini, Bertrand Russell, dalam salah satu kesimpulan di bukunya Religion and Science, menyatakan bahwa agama kini tidak lagi mempunyai pengaruh sebesar beberapa abad lalu. Russell menyatakan bahwa doktrin agama yang dulu dianggap sebagai kebenaran mutlak, yang mesti dipercaya apa adanya, seiring dengan perkembangan sains, sekarang menjadi tidak esensial lagi.
Banyak fenomena alam yang dulu dijawab oleh agama secara absurd, kini fenomena tersebut bisa dijelaskan oleh sains secara lebih detil. Dulu segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh pengetahuan manusia, selalu disandarkan jawabannya pada doktrin-doktrin agama, kini sainslah yang menjadi panglima. Walau masih terbatas, sains terus berkembang untuk memenuhi kehausan hasrat manusia akan pengetahuan melalui aneka tanya.
Selain itu, agama di samping dianggap tidak kompatibel dengan sains masa kini, tak jarang dituding sebagai biang onar. AN. Wilson-seorang ilmuwan sekuler--dalam buku Against Religion: Why We Should Try to Live without It menulis :
“(Karl) Mark menggambarkan bahwa agama adalah candu rakyat, tetapi sesungguhnya agama jauh lebih berbahaya dari candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong manusia saling menganiaya di antara sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.”
Bagi orang beragama, tentu saja pendapat ini sangat berlebihan. Sisi baiknya, kita bisa menjadikannya alat koreksi atau instrospeksi bagi kita yang beragama. Sudah benarkah perilaku beragama kita? Sudahkah kita kaum beragama menjadi rakhmat bagi semesta atau baru sebatas rakhmat bagi kelompok atau diri sendiri saja?
Sekali lagi, kritikan ini bisa jadi alat bagi kita untuk merenung, benarkah asumsi-asumsi mereka itu? Sebelum ajal menjemput masih ada waktu untuk melakukan koreksi diri dan perbaikan diri.
Jadi, seperti apa agama yang akan eksis di masa depan? Agama masa depan adalah agama yang mampu menjadi pemecah masalah (problem solver) bukan pembuat masalah (problem maker). Agama masa depan adalah agama yang menentramkan bukan yang menggelisahkan. Agama masa depan adalah agama yang menghadirkan kenyamanan bukan yang menimbulkan konflik.
Agama masa depan adalah agama yang sudah melucuti dirinya dari anasir-anasir kekerasan, diskriminasi, dan kebencian. Agama masa depan adalah agama yang menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai, dan toleransi dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah manusia telah mencatat bahwa konsep tuhan datang dan pergi, ajaran agama juga datang dan pergi. Kita bisa mengamatinya secara jelas tanpa perlu alat bantu apapun. Lihatlah, manusianya tetap, kita-kita ini. Agama ada untuk melayani manusia bukan manusia ada untuk melayani agama.
Dengan sangat menyesal, agama yang tidak mengikuti perkembangan kemajuan budaya manusia akan secara perlahan dikirim ke museum, kemudian jadi pajangan yang hanya bisa dilihat dan dinikmati keantikannya, tanpa bisa dipegang apalagi dipeluk..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar